(Opini Kompas) Kebudayaan Bangsa Indonesia

Sumbo Tinarbuko

Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta

Raibnya frasa “berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia” pada RUU Omnibus Law Cipta Kerja Bidang Pendidikan Tinggi, mengundang tanya parapihak yang ada di lingkungan perguruan tinggi.

Di dalam draf RUU itu dituliskan, ‘’Pendidikan tinggi adalah jenjang Pendidikan setelah Pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.’’

Sekarang bandingkan dengan UU 12 Tahun 2012, ‘’Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.’’

Konon, apologi dihilangkannya frasa itu ditengarai demi mengejar gengsi sebagai perguruan tinggi yang memiliki daya saing global. Serta upaya untuk mendatangkan mahasiswa dari luar negeri untuk mengenyam pendidikan di Indonesia. Alasan terpenting dihablurkannya frasa ‘’berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia’’, patut diduga semata-mata berupaya meraih modal finansial dari pihak asing. Artinya, upaya penghapusan frasa itu lebih pada modus ekonomi, Ujungnya akan membangun kerajaan industri pendidikan di Indonesia.

Industri jasa pendidikan

Manakala frasa “berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia” pada RUU Omnibus Law Cipta Kerja Bidang Pendidikan Tinggi benar-benar dihilangkan, semakin menguatkan adagium pendidikan tinggi memang mahal. Karena pendidikan diposisikan menjadi industri jasa pendidikan yang orientasinya berpijak pada diksi untung-rugi.

Atas nama pergerakan roda ekonomi industri pendidikan yang berorientasi pada untung-rugi. Peserta didik tersegmentasi dalam dua kubu dengan peruntukan yang sangat kontras. Hanya anak orang kaya yang sanggup membeli jasa industri pendidikan. Sebaliknya,  anak dari keluarga kurang mampu wajib terpinggirkan. Dampak sosialnya, mereka harus ikhlas hati menempati posisi dalam kelompok rendah daya nalar akademiknya.

Dari sana, RUU Omnibus Law Cipta Kerja Bidang Pendidikan Tinggi dengan riang gembira akan mendekonstruksi tugas sosial institusi pendidikan tinggi menjadi lembaga pengajaran. Konkretnya, lembaga pendidikan tinggi, secara politik dan ekonomi, ditorehkan garis demarkasi hanya pada wilayah pengajaran. Dengan demikian, lembaga pendidikan tinggi sebatas diberi kewenangan mengajarkan pengetahuan dan secuil ketrampilan tertentu secara instan.

Ujung dari semua itu, RUU Omnibus Law Cipta Kerja Bidang Pendidikan Tinggi secara tegas telah membuat format ranah pendidikan tidak lagi dinilai sebagai upaya pengembangan intelektualitas. Ranah pendidikan bukan lagi tempat latihan laku kebijaksanaan yang berkeadilan sosial.

Akhirnya, ranah pendidikan tinggi kehilangan kekuatannya sebagai wahana memperbesar aspek moralitas dalam perspektif kemanusiaan yang berbudaya. Lembaga pengajaran minus pendidikan kehilangan rahim kebijakan yang bersandarkan pada kebudayaan bangsa Indonesia.

Atas fenomena yang memprihatinkan itu, secara konotatif RUU Omnibus Law Cipta Kerja Bidang Pendidikan Tinggi tidak mampu melahirkan manusia unggul yang berkarakter dan berbudaya Indonesia.

Akibat ideologisnya, ia tidak mampu menjalankan proses regenerasi manusia unggul yang cerdas, santun, bermoral, dan berbudaya. Dengan demikian tidak akan sanggup menghasilkan generasi muda unggul berwajah intelektual dan berkarakter cendekiawan sejati.  Yang muncul justru format cetakan tenaga kerja dengan bayaran sangat murah.

Turun kasta

Ketika lembaga pendidikan tinggi diturunkan kastanya menjadi lembaga pengajaran, menyebabkan sikap hidup para peserta didik untuk belajar makin luntur. Hal itu mengemuka karena aktivitas belajar mengajar tidak dipandang sebagai proses pengembangan diri melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan nalar kemanusiaan yang berkeadilan sosial.

Atas dasar format cetakan seperti yang termaktub dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja Bidang Pendidikan Tinggi. Akhirnya, mereka menyikapi pendidikan formal layaknya jalan tol untuk mengantarkannya meraih kasta terhormat. Mereka menyukai jasa industri pendidikan yang menyajikan menu pengajaran instan dalam wujud kemasan pemikiran yang paritas.

Dalam perspektif budaya visual, fenomena lembaga pengajaran minus pendidikan menjadikan nalar kreatif  dan imajinasi yang ada di dalam otak peserta didik menjadi tumpul. Orientasi sosial mereka menjadi karyawan dengan gaji besar. Mereka terobsesi menjadi manusia modern dengan gaya hidup konsumtivisme dan hedonisme. Hal itu mereka kejar untuk memeroleh kasta sosial sebagai konsumen modern pemuja budaya instan.

Terhadap RUU Omnibus Law Cipta Kerja Bidang Pendidikan Tinggi yang sengaja menghilangkan frasa “berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia” dapat dijuluki sebagai teroris sosial. Dalam praktiknya, RUU Omnibus Law Cipta Kerja Bidang Pendidikan Tinggi melakukan aktivitas penjajahan sosial bagi lembaga pendidikan tinggi.

Untuk itu harus terus-menerus dikumandangkan bahwa lembaga pendidikan tinggi tidak hanya sekadar pabrik yang memproduksi materi ajar dengan target nilai tinggi. Selain itu secara berkesinambungan harus dikumandangkan, sejatinya pendidikan adalah manifestasi peningkatan kepekaan hidup berbudaya dan perluasan kepedulian sosial. Untuk itu harus disepakati bersama bahwa lembaga pendidikan sebaiknya menjadi bagian dari ritus patembayatan sosial. Kesepakatan dan kesepahaman seperti ini sangat penting guna mengembangkan kepribadian yang berkarakter budaya bangsa Indonesia.

(Dr. Sumbo Tinarbuko adalah Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta. Artikel ini dimuat di kolom Opini KOMPAS harian Kompas Jakarta, Selasa, 21 Juli 2020)

Tentang sumbotinarbuko

Creative Advisor and Consultant of Institute Sumbo Indonesia, and Lecturer of Program Studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa and Sekolah Pascasarjana ISI Yogyakarta
Pos ini dipublikasikan di about me. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar