Buku Terbaru Pak Guru Sumbo Tinarbuko Sudah Dapat Dipinang

Buku Terbaru Pak Guru Sumbo Tinarbuko ‘’PERANCANGAN DAN PENGKAJIAN DESAIN KOMUNIKASI VISUAL’’

lapor bosqu, buku ke – 12 pak guru @sumbotinarbuko berjudul: Perancangan dan Pengkajian Desain Komunikasi Visual, sudah bisa anda miliki dengan mahar Rp. 216.000,-

mahar tsb belum termasuk ongkos kirim. berat buku 500 gram. untuk perkiraan ongkos kirim buku dari Yogyakarta ke alamat pemesan, silakan anda klik http://www.jne.co.id/id/tracking/tarif

pembayaran dilakukan melalui transfer ke nomer rekening 0030388949 – Bank BNI Yogyakarta – atas nama: Sumbo Tinarbuko atau Agnes Setia Wardhani

bagi pemesan buku, setelah melakukan pembayaran via transfer bank, dipersilakan kirim identitas dan data diri – alamat rumah/kantor – no hp – jumlah pemesanan buku – ke email sumbotinarbuko@gmail.com – sertakan juga foto bukti pembayaran

@institutesumbo, ruang untuk bersama-sama belajar dan belajar bersama-sama #merdekave #literasidekave #DKVBertindak

Dipublikasi di about me | Meninggalkan komentar

(Analisis KR) Kementerian Kebudayaan

Dr Sumbo Tinarbuko

Konsep dan strategi pemajuan kebudayaan Indonesia sudah diundangkan di dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Hal itu didedikasikan guna memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Untuk itu, seperti dinukilkan bagian menimbang butir huruf (c), diperlukan langkah strategis.

Seperti apakah perwujudannya? Bentuk konkret dari langkah strategis itu berupa upaya pemajuan kebudayaan melalui perlindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan. Lalu apa kepentingannya? Semuanya itu didesain untuk merepresentasikan warga dan bangsa Indonesia yang berdaulat secara politik. Berdikari dalam konteks ekonomi dan sosial serta berkepribadian dalam kebudayaan Indonesia. Sedangkan pasal (4) butir huruf (h) dari UU  itu menyebutkan pemajuan kebudayaan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. 

Masalahnya kemudian, apakah tujuan pemajuan kebudayaan yang termaktub dalam UU No. 5/2017 sudah terlaksana?

Untuk mengawal pengejawantahan UU Pemajuan Kebudayaan harus ditangani secara politis dan praksis di bawah Kementerian Kebudayaan. Artinya, presiden terpilih hasil pemilu 2024 wajib membentuk dan menghadirkan Kementerian Kebudayaan dalam kabinetnya. Dengan demikian pengejawantahan pemajuan kebudayaan tidak sekadar diselesaikan lewat nukilan undang-undang semata. Apalagi sekadar “omon-omon” wacana pemajuan kebudayaan lewat meja diskusi focus group discussion atau talkshow di televisi, radio, podcast dan media sosial. 

Kehadiran Kementerian Kebudayaan sangat dibutuhkan di tengah gempuran budaya virtual serta budaya digital yang hadir secara terstruktur, sistematis dan masif. Apa tugasnya? Kementerian Kebudayaan disematkan tugas negara untuk memfokuskan diri guna mewujudkan UU Pemajuan Kebudayaan lewat penerapan strategi kebudayaan Indonesia. 

Hal ini mendesak dilakukan Kementerian Kebudayaan guna membangun fondasi perikehidupan bangsa Indonesia seperti diamanatkan sila kedua dan sila keempat Pancasila. Tafsirnya, Kementerian Kebudayaan wajib membangun kesadaran berbudaya lewat penguatan sumber daya manusia bersendikan pendidikan yang memanusiakan manusia. 

Tujuannya? Kementerian Kebudayaan harus mampu menghasilkan konsep dan pemikiran manusia Indonesia yang bermartabat. Hal itu menjadi modal sosial untuk mewujudkan kesejahteraan lahir batin rakyat Indonesia. Semuanya itu harus dikerjakan Kementerian Kebudayaan dengan keseriusan hati dan pikiran. 

Membangun strategi kebudayaan berbasis kerakyatan wajib dikumandangkan. Kementerian Kebudayaan tunjuk menjadi komandannya. Semuanya layak dilaksanakan guna memperbaiki kesalahan sosial masa lalu. Dosa sosial yang membuncah di sanubari rakyat dan bangsa Indonesia adalah ketakutan menunjukkan jati diri sebagai bangsa merdeka. Bangsa gemah ripah loh jinawi yang memiliki kekayaan kebudayaan. Bersumber dari warisan nenek moyang serta hasil akulturasi pergaulan antar bangsa. 

Ironisnya, bangsa Indonesia semakin bangga ketika jati dirinya dilenyapkan bangsa asing. Mereka mendudukkan dirinya sebagai negara produsen. Sebaliknya, bangsa Indonesia justru merasa bangga ketika diposisikan sebagai bangsa konsumen.  Pada titik inilah, harkat dan martabat kemerdekaan bangsa Indonesia hablur jadi debu.

Momentum terpilihnya presiden hasil pemilu 2024 berdasarkan penetapan KPU dan MK, tidak boleh dilewatkan dalam konteks upaya pemajuan kebudayaan Indonesia. Mengapa demikian? Karena lewat peristiwa ini, diyakini menjadi saat yang tepat untuk menyatukan kepingan adat istiadat yang dicerai-beraikan pihak tertentu. 

Terpilihnya presiden hasil pemilu 2024 diharapkan menjadi jembatan penghubung politik guna memetakan dan memasyarakatkan penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Presiden terpilih lewat Kementerian Kebudayaan harus memberikan penguatan politik atas tumbuh kembangnya kuliner agraris warisan cita rasa nenek moyang yang mulai dilupakan akibat penetrasi kuliner asing. 

Selain itu, harus ada niatan baik dari presiden terpilih untuk menggali kekayaan seni rupa dan seni pertunjukkan berbasiskan suku, bahasa serta tradisi dan kearifan lokal sebagai representasi peradaban kebudayaan khas Indonesia.

Dengan hadirnya Kementerian Kebudayaan, upaya pemajuan kebudayaan Indonesia, diyakini menjadi bakal buah yang akan mendongkrak peningkatan kesejahteraan rakyat seperti diamanatkan pasal (4) butir huruf (h) dari UU Pemajuan Kebudayaan.

(Dr Sumbo Tinarbuko adalah Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual, FSRD ISI Yogyakarta. Artikel ini dimuat di kolom Analisis KR, Harian Kedaulatan Rakyat, 27 April 2024)

Dipublikasi di about me | Meninggalkan komentar

(OPINI KR) Token Listrik

Sumbo Tinarbuko

Frasa token listrik trending topic. Bahkan popularitas frasa token listrik mampu menggeser keterkenalan peribahasa tong kosong nyaring bunyinya. Mengapa disimpulkan seperti itu? Keduanya mengetengahkan kata kunci: nyaring bunyinya! Tafsirnya, karakter token listrik dan peribahasa tong kosong nyaring bunyinya, memiliki kesamaan makna konotatif. Keduanya merepresentasikan entitas audio yang berkaitan dengan suara nyaring. Bahkan cenderung berwujud dengungan masif sangat berisik. Hal itu ditakar manakala pemilik suara memiliki kualitas rendah atas akal pemikiran serta nalar perasaannya.

Frasa token listrik dengan karakter suara nyaring, gaduh serta berisik. Hal itu terjadi, ketika jumlah daya listriknya berkurang menuju habis. Atas dasar itulah, fungsi elektrik token listrik dipinjam warganet. Apa kepentingannya? Warganet sengaja memplesetkan bahkan mendekonstruksi karakter token listrik menjadi bahan ejekan virtual yang ditebarkan di linimasa medsos. 

Mereka secara virtual membully peserta kontestasi pemilu yang kalah namun senantiasa berisik di medsos. Warganet merujak sang kalah yang senantiasa membuat kegaduhan virtual. Aktivitas negatif  sang kalah dilakukannya guna mewujudkan kehendak untuk balik nama dari sang kalah menjadi pemenang pemilu. 

Atas peristiwa di atas, penulis menuliskan status story di medsos: saat menang jadilah pelaku sejarah. Ketika kalah duduklah manis menjadi penyaksi pergerakan zaman yang semakin gempita dan dinamis. 

Tanggapan warganet berhamburan di kolom komentar. Mereka menuliskan rasa pesimisnya atas tabiat sang kalah yang ingin menjadi pemenang kontestasi ketika pesta demokrasi sudah selesai. 

Rasa pesimis warganet yang digoreskan di medsos atas tabiat negatif sang kalah dapat dipahami sepenuh hati. Mengapa demikian? Bagi sang kalah, perhelatan kontestasi pemilu merupakan representasi perang kekayaan serta tawuran status sosial dan politik. Bahkan mereka menempatkan pesta demokrasi pemilu sebagai arena perkelahian ideologi politik antar dinasti politik yang sedang melakonkan drama politik lima tahunan. 

Dalam perspektif budaya visual, tawuran politik dalam kontestasi pemilu menjadi representasi perang asimetris. Siapa diuntungkan? Tentu saja kaum kuasa ibu jari. Mereka dengan ringan hati menorehkan jejak digital bernada nyinyirisme di linimasa medsos. Tujuannya? Untuk menelikung pihak lawan. 

Caranya? Mereka mengumandangkan kekerasan simbolik. Mereka juga menghadirkan kekerasan verbal yang diposting di medsos secara masif guna dikondisikan menjadi sebuah kebenaran virtual.  

Kegaduhan virtual seperti itu dikapitalisasi operator tawuran politik kontestasi pemilu. Mereka menyetorkan data jejak digital dan rekaman algoritma kekerasan verbal dan kekerasan simbolik di medsos kepada juragan penyandang dana. Ujungnya, hasil komoditas kekerasan simbolik dan kekerasan verbal di barter dengan segepok uang kartal dan giral.

Di sisi lain, realitas media mencatat, keinginan kuat sang kalah untuk menjadi pemenang lewat gugatan hukum di Mahkamah Konstitusi. Kehendak politik menang dari sang kalah senantiasa mengedepankan sikap adigang, adigung, adiguna. Perwujudannya lewat dengungan ujaran berisik di medsos. Isinya antara lain: narasi menggugat pemilu curang. Tuduhan aktivitas penggelembungan suara. Minta pemilu diulang tanpa menghadirkan pemenang.  

Catatan realitas media di atas dapat pula digambarkan lewat filosofi kejawen: watak dan watuk. Bagaimana penjelasannya? Dalam pameo masyarakat Jawa, watak dikonotasikan sebagai tabiat negatif. Tidak bisa diubah. Mengapa demikian? Sebab eksistensi watak menjadi satu paket jiwa raga yang bersemayam di dalam diri manusia. Sedangkan watuk dapat disembuhkan dengan cepat. Karena watuk diposisikan sebagai penyakit yang mengganggu jalan pernapasan.

Pemeo watak dan watuk dalam konteks peserta kontestasi pemilu yang kalah, dapat  dijelaskan lewat dekonstruksi makna token listrik. Isinya kumpulan sikap menyalahkan serta budaya balas dendam. Pelaku budaya balas dendam dan saling menyalahkan dapat disaksikan dari tabiat para pihak yang berkaitan dengan sengketa kontestasi pemilu.

*) Sumbo Tinarbuko adalah Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSRD ISI Yogyakarta. Artikel ini dimuat di kolom Opini KR, harian Kedaulatan Rakyat, 17 April 2024

Dipublikasi di about me | Meninggalkan komentar

(Analisis KR) Kegaduhan Virtual

Dr Sumbo Tinarbuko

Banyak pihak menduga, begitu Pemilu usai digelar. Kegaduhan virtual yang menghiasi linimasa medsos sejak kampanye, debat, hingga coblosan kertas suara pilpres dan pileg berakhir. Benarkah demikian? Ternyata, sangkaan seperti itu jauh panggang dari api. Terbukti perkiraan semacam itu meleset jauh. Fenomena kegaduhan virtual di kanal medsos justru kian semarak. 

Apa penyebabnya? Realitas media memberikan jawaban akurat atas kegaduhan virtual di medsos. Kuasa diksi diyakini menjadi komandan lapangan. Kuasa diksi dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas perkara kegaduhan virtual medsos. 

Jejak digital mencatat perang diksi, frasa dan kalimat, menjadi hulu ledak yang berhasil membakar kegaduhan virtual. Di antaranya: pemilu curang, kecurangan terstruktur, sistematis dan masif. Bohong, menang tidak jujur, penggelembungan suara. Satu putaran versus dua putaran, politik dinasti, demokrasi dikebiri. Dana bansos, KPU salah dan curang, hak angket, hak interpelasi, pemakzulan presiden. 

Berdasarkan realitas sosial jejak digital di atas, ditengarai fenomena kegaduhan virtual akibat konflik perang diksi berwujud ujaran kebencian. Hal itu masih diperuncing perang tagar di medsos. Aktornya? Kelompok kalah telak melawan golongan menang mutlak. Kondisi realitas medsos seperti itu, secepat kilat dikondisikan menjadi bahasa baru. Tujuannya? Guna mengekspresikan rasa marah.  

Harus diakui, ujaran nyinyirisme, ujaran kebencian, berita bohong dan perang tagar adalah komponen kekerasan verbal di medsos. Media sosial dimanfaatkan provokator jahat membungkus kekerasan verbal. Mereka mengkapitalisasi kegaduhan virtual  menjadi komoditas politik yang laris manis. Hasilnya di barter dengan segepok cuan. 

Bentuk konkret komodifikasi kegaduhan virtual yang disuguhkan medsos secara detail dan vulgar dapat disimak lewat kotak komentar. Efeknya? Komodifikasi kegaduhan virtual  itu ditengarai menjadi semacam pembibitan baru bagi tumbuhnya tunas kekerasan virtual. 

Mereka secara sadar memosisikan kegaduhan virtual  sebagai bahasa baru. Ketika kekerasan virtual sebagai bahasa baru dianggap mampu menyelesaikan setiap permasalahan sosial yang muncul dalam kehidupan. Hal itu mereka jadikan modal sosial untuk menggali energi negatif bertabiat kasar. Visualisasinya digambarkan sosok maskulin. Mereka diformat suka berteriak lantang guna memaksakan kehendaknya atas nama kebenaran versi diri dan kelompoknya.  

Dampak psikologisnya, warganet dan warga masyarakat menjadi gampang tersinggung. Mereka mudah naik darah manakala membaca sepenggal kalimat atau mengeja sebaris narasi verbal pada status unggahan medsos. Kuasa diksi yang disuarakan tanpa intonasi dan ujaran yang dituliskan nir ekspresi bersalin menjadi pedang trisula. Keberadaannya dengan cepat merobek jantung emosi siapa pun yang sedang panas hatinya.

Kegaduhan virtual di medsos pada perhelatan Pemilu 2024 hingga detik ini belum turun tensinya. Apa dampaknya? Warganet di jagat maya terbelah menjadi tiga kelompok besar. Demikian juga kehidupan patembayatan sosial di jagat raya terjebak di dalam kotak yang sama. 

Terdiri dari kelompok kalah telak. Kelompok ini selalu berisik mengumandangkan perang diksi, frasa dan kalimat. Wujudnya berupa bangunan komentar bernada negatif dalam balutan ideologi nyinyirisme. 

Kelompok berikut menyebut dirinya golongan terima kalah. Mereka dengan kepala tegak bersedia menerima kekalahan itu secara legowo. Mereka kemudian membangun kesadaran baru atas peristiwa kekalahan yang dialami capres junjungannya. Mereka berhasil melepaskan diri dari gendam virtual pemilu. Bahkan mereka sanggup dengan cepat  menyembuhkan luka batin atas kekalahan capres idolanya dengan berkarya nyata seperti sedia kala.

Sedangkan di sudut lain tentu saja kelompok menang mutlak. Bagi mereka, peristiwa kemenangan ini merupakan anugerah yang patut disyukuri. Langkah apa yang mereka persiapkan? Mereka sedang mempersiapkan diri membangun struktur pemerintah baru bersama presiden terpilih. Mereka mempersiapkan rencana kerja kolaborasi demi mewujudkan cita-cita nasional: Indonesia emas 2045.

(Dr Sumbo Tinarbuko adalah Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSRD ISI Yogyakarta. Artikel ini dimuat di kolom Analisis KR, harian Kedaulatan Rakyat, 23 Maret 2024)

Dipublikasi di about me | Meninggalkan komentar