Merdeka Tapi Bingung

Dr. Sumbo Tinarbuko

Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta

merdeka tapi bingung foto
(Foto: Dr. Sumbo Tinarbuko)

Harus diakui Indonesia secara denotatif sudah merdeka. Tetapi secara konotatif, Indonesia belum merdeka. Bahkan dalam realitas patembayatan sosial, ternyata justru tampak kebingungan. Semuanya terjadi akibat pejabat penyelenggara pemerintahan, anggota dewan, pengurus parpol ditopang kelompok pengusaha lebih bahagia menggerakkan roda politik ekonomi praktis.

Atas hal itu, bangsa Indonesia semakin nyata terlihat menjadi bangsa yang bingung. Ketergantungan pada pihak asing yang diposisikan sebagai dewa penyelamat dalam menutupi kebingungan itu. Semua permasalahan ekonomi, industri dan budaya, dilepaskan kepada pihak asing untuk membantu menyelesaikannya. Akibatnya semangat dan kepribadian bangsa Indonesia tampak lemah. Ketika bangsa Indonesia dilanda sindrom kebingungan. Ironisnya pejabat penyelenggara pemerintahan justru lebih suka berpikir instan dan pragmatis. Mereka lebih senang bersiasat jangka pendek dengan menisbikan jalinan sebuah proses. Padahal sebuah proses – apapun bentuk dan pengejawantahannya – sejatinya adalah pilihan wajib. Ia harus dijalankan oleh siapapun dalam mengisi hidup dan kehidupan yang merdeka.

Sindrom Impor

Kesan yang mengemuka, Indonesia menjadi bangsa yang lembek daya juangnya. Pejabat penyelenggara pemerintahan didukung anggota dewan mengarahkan bangsa Indonesia  menjadi bangsa konsumen. Semua kebutuhan pokok hajat hidup rakyat Indonesia dipenuhi melalui aktivitas impor.

Sindrom impor setidaknya terlihat hingga Agustus 2019. Dalam catatan laman tirto.id (11/8/2019), impor beberapa komoditas yang dilakukan pemerintah sempat menjadi sorotan masyarakat luas. Salah satunya impor beras yang diberikan saat petani sedang panen raya. Bahkan impor sempat dipaksakan saat kapasitas Gudang Bulog sudah berlebih.

Masih merunut catatan laman tirto.id, muncul kritik pada impor gula yang sempat meroket hingga Indonesia menjadi importir terbesar di dunia per tahun 2017-2018. ‘’Impor jagung sebanyak 60 ribu ton per Maret 2019 juga menjadi polemik karena diberikan saat kesalahan data belum dibenahi’’.

‘’Lalu impor baja yang masuk ke Indonesia,’’ tulis  tirto.id, ‘’Hal itu sempat berimbas pada produsen baja lokal akibat Permendag Nomor 22 Tahun 2018 membuka celah masuknya penjualan baja karbon yang lebih murah dari pasar domestik’’. Tak hanya itu, lanjut tirto.id, masuknya produk semen asing ke Indonesia juga menuai persoalan. ‘’Sebab, produksi semen Indonesia masih surplus 35 juta ton per tahun. Belum lagi, dari sejumlah kebijakan impor yang dikeluarkan juga kerap bersinggungan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)’’.

Sebelumnya pejabat penyelenggara pemerintahan dengan dukungan anggota dewan mengimpor bahan bakar minyak, dan kosmetik. Tidak selesai sampai di situ, bangsa  Indonesia masih juga mengimpor makanan ringan teman minum teh sore hari yang dipesan dari Tiongkok. Susu instan pun didatangkan dari New Zealand dan Australia. Biskuit kulakan dari Malaysia.

Mainan anak-anak, buah  segar (durian, kelengkeng, jambu), dan burung perkukut yang digemari masyarakat bersumber dari Bangkok Thailand.

Kendaraan bermotor, peralatan elektronik rumah tangga, perkantoran dan alat komunikasi diambil dari Jepang, Taiwan, Korea, dan Cina. Produk sandang dibeli dari produsen fashion Paris, Singapore, dan Hongkong.

Masalah impor komoditas beras, jagung, gula, baja karbon dan semen yang menjadi trending topic hingga medio 2019 belum diselesaikan. Muncul ide dari pejabat penyelenggara pemerintahan yang mengurusi bidang pendidikan tinggi. Ia bercita-cita mengimpor rektor asing yang akan ditempatkan di berbagai perguruan tinggi negeri di Indonesia. Hal ini semakin menguatkan judul tulisan di atas. Bangsa Indonesia sudah merdeka, tetapi masih bingung.

Bagi Mohammad Abduhzen pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina Jakarta seperti dikutip CNNIndonesia.com  (31/07/2019), wacana Menristekdikti Mohamad Nasir akan mengimpor rektor asing untuk ditempatkan di perguruan tinggi negeri, sebagai representasi mental bekas bangsa terjajah.

‘’Ada pola pikir salah kaprah di kalangan pengambil kebijakan bahwa kualitas pengajar asing pasti lebih baik dari pengajar dalam negeri,’’ ujar Abduhzen sambil menambahkan,’’ Pemikiran semacam itu merupakan pemikiran mentalitas poskolonial, orang yang bekas terjajah, merasa tertinggal. Muncul sindrom untuk mengejar ketertinggalan hanya bisa kalau dengan orang asing”.

Abduhzen juga mempertanyakan rencana Menristekdikti, ‘’Adakah jaminan seorang rektor dari luar negeri bisa serta merta mendongkrak performa PTN dan masuk ke jajaran top dunia’’.

Ia mengusulkan agar pembenahan mutu pendidikan tinggi Indonesia harus bertahap. Hal itu bisa dimulai dengan fokus pada variabel peningkatan mutu pendidikan. Lalu juga bisa dilakukan dengan menaikkan kesejahteraan tenaga pendidik selaras dengan peningkatan kompetensi mereka.

Jujur harus diakui, pendidikan tinggi negeri di Indonesia memiliki keunggulan dan kompetensi berbeda antara satu dengan lain. Hal ini tetap dipertahankan untuk menumbuhkan keberagaman sudut pandang dan outcome perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan tinggi negeri yang bertanggung jawab.

Kata kuncinya bukan menciptakan model pendidikan yang diberlakukan secara seragam. Bukan institusi pendidikan tinggi negeri yang menyelenggarakan pendidikan tanpa melibatkan unsur pendidikan itu sendiri.

Bukan pula institusi pendidikan tinggi negeri yang dipreteli tugas sosialnya sebagai lembaga sosial. Sebuah lembaga yang menyandang amanah tugas sosial untuk mencerdaskan dan memerdekakan mahasiswa. Dampak sosialnya, ia tidak boleh lagi menanam budi kebaikan. Ia dilarang menyebar virus kebermanfaatan guna merangkai ilmu pengetahuan dalam jalinan nilai-nilai kemanusiaan yang manusiawi, berkeadilan, mandiri, bermartabat dan berbudaya.

Jika hal ini  tidak disikapi secara kritis. Akan muncul kebingungan sosial di berbagai institusi pendidikan tinggi negeri. Dalam perspektif budaya visual, mereka akan kehilangan hakikat adat istiadat yang ada di lingkungannya. Mereka akan kehilangan format kearifan lokal yang sejujurnya menjadi penjaga gawang hati nurani. Semuanya itu merupakan ujud  cetakan perilaku makhluk sosial. Mengemban tugas sosial untuk senantiasa berbuat baik. Untuk bertindak elok sesuai kepribadiannya sendiri secara mandiri, tertib dan merdeka yang bertanggung jawab.

Kedaulatan Bangsa

Ketika sebuah bangsa yang sebagian besar kebutuhan pokoknya dipenuhi melalui impor. Cepat atau lambat akan menyerahkan kedaulatannya kepada bangsa lain yang kelihatannya senantiasa membantu kesulitan finansial dan melindungi dari marabahaya.

Bagi bangsa Indonesia, ketika seleranya bukan lagi selera bangsa Indonesia, melainkan  selera impor,  hal itu merupakan sebuah ironi. Tidak bisa diurai akal sehat. Kenapa demikian? Ditengarai sebagian besar pejabat penyelenggara pemerintahan dan anggota dewan sedang dibuai mimpi panjang. Mereka tengah dininabobokan dengan untaian mitos negeri jamrud katulistiwa yang gemah ripah loh jinawi.

Sebaliknya, realitas sosial dan jejak digital membukukan catatannya, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang pemimpinnya gemar korupsi. Pengangguran masyarakat terdidik meningkat dan rakyatnya miskin. Bangsa yang sedang dikepung bencana alam. Bangsa pengekspor asap akibat kebakaran hutan dan pemasok tenaga kerja kasar di berbagai negara. Bangsa yang mengesampingkan bidang pendidikan dan mementingkan pertikaian politik demi menggelembungkan perut kekuasaan anggota dewan dan pejabat publik.

Bangsa Indonesia memang sudah merdeka, tetapi dalam perjalanannya yang mencapai usia 74 tahun. Masih terlihat kecenderungan sebagian besar warga masyarakat malas mengolah segala potensi rasa dan karsa menjadi karya nyata yang mampu mewarnai dunia.

Semua yang terjadi selama ini telah menjadi penyakit sosial. Dampaknya, menyebabkan bangsa Indonesia lembek daya juangnya. Kita menjadi bangsa limbung dan bingung karena tidak mampu mengelola potensi dan jati diri. Kita dihipnotis menjadi keledai dungu dikendalikan negara asing yang menjajah secara ekonomi, budaya dan ideologi.

Atas stigma negatif seperti itu, mari kita pupus bersama. Mari kita bangkit berdiri untuk bergerak berkolaborasi bersama-sama. Semuanya itu wajib kita lakukan dengan kesadaran penuh. Tujuannya untuk mewujudkan kehidupan patembayatan sosial yang merdeka dengan mengedepankan budaya berkeadilan yang manusiawi dan bermartabat.

Tentang sumbotinarbuko

Creative Advisor and Consultant of Institute Sumbo Indonesia, and Lecturer of Program Studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa and Sekolah Pascasarjana ISI Yogyakarta
Pos ini dipublikasikan di about me. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar