(Opini Kompas) Dosen, Intelektual Kampus atau Administrator Pendidikan

Oleh SUMBO TINARBUKO

Pemikiran Azyumardi Azra Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah seperti dikutip dalam liputan harian Kompas (12/7/2017) layak dijadikan pemantik bersulang pemikiran. Pembahasan diskusi ilmiah populer ini hadir berdasarkan laporan harian Kompas berjuluk “Pendidikan Multikultural: Ruang Interaksi Minim, Kebangsaan Melemah”. Uniknya, udar rasa ilmiah bernuansa kritik sosial yang disampaikan Azyumardi Azra hingga detik ini masih bergema menggembara di ruang publik.

Benarkah demikian? Realitas sosial di jagat perguruan tinggi masih menampakkan catatan residu kuasa administrasi pendidikan. Para birokrat pendidikan di negeri ini sengaja membuat ikatan tali kencang yang mematikan. Dampak pedagogisnya, kuasa administrasi pendidikan membelenggu ruang gerak sebagian besar dosen sebagai kaum intelektual kampus di Indonesia. Asumsi sekaligus tengara di atas membuktikan kebenarannya ketika menyimak paparan pemikiran Azyumardi Azra, ‘’Sekolah maupun perguruan tinggi, terlalu disibukkan dengan proses administrasi yang membebani. Kolonialisasi perguruan tinggi ini dilakukan oleh kementerian’’.

‘’Padahal,’’ tegas Azyumardi, ‘’Bila ingin perguruan tinggi nasional kompetitif, maka perlu ada perubahan kebijakan kepada para dosen untuk dibebastugaskan dari kewajiban mengurusi urusan nonteknis administratif’’.

Dalam amatan Azyumardi, “Birokratisasi menjajah pendidikan saat ini. Guru dan dosen sekarang lebih sibuk mengurus proses administrasi dari birokrasi yang berbelit-belit, sehingga tidak lagi membaca buku atau membuka wawasan atau minim literasi’’.

Administrator pendidikan

Catatan kritis yang diungkapkan Azyumardi semakin menguatkan asumsi: kewajiban utama akademisi dan intelektual kampus sebagai dosen harus rela dibonsai, bahkan diubah. Mereka dibuat tidak berkutik oleh tekanan kuasa administrasi yang digariskan birokrat pendidikan di negeri ini. Mereka harus merelakan dirinya untuk berpura-pura memasang wajah tampak berbahagia. Penggalan adegan drama ini wajib dilakonkannya demi menjalankan tugas utama sebagai administrator pendidikan yang baik dan benar.

Mereka harus menyuguhkan permainan cantik guna menyelesaikan urusan administrasi pendidikan yang disematkan di atas pundaknya. Terpenting, mereka harus tampak profesional saat menyusun laporan administrasi pendidikan yang sekarang terpaksa menjadi tugas utamanya. Pada titik ini, muncul fenomena sosial baru pada jagat pendidikan tinggi. Wujudnya seperti apa? Berupa dekonstruksi tugas serta fungsi dosen sebagai akademisi dan intelektual kampus. Keberadaannya mengharuskan bersalin wajah menjadi administrator pendidikan.

Dampaknya, dosen dipaksa memasuki labirin yang keberadaannya sangat asing sekaligus tidak membahagiakannya. Hal itu berakibat pada pembonsaian ruang geraknya sebagai seorang akademisi serta intelektual kampus. Realitas sosial semacam ini sungguh memprihatinkan bagi seseorang yang memilih mengabdikan dirinya sebagai dosen dengan karakter akademisi dan intelektual kampus.

Atas upaya pembonsaian serta dekonstruksi tugas berikut fungsi akademisi dan intelektual kampus, menyebabkan mereka tidak sempat lagi membaca apalagi menulis buku. Hal itu ditengarai menjadi sebab angka statistik literasi mereka tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan. Selain itu, mereka menjadi kekurangan waktu untuk melakukan penelitian. Salah satu dharma dari tridharma perguruan tinggi yang mampu menghasilkan gerakan sosial. Sebuah social movement sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat dan lingkungannya.  

Waktu mereka habis guna memenuhi target tuntutan satuan kredit semester dalam jumlah tertentu. Akhirnya banyak dosen yang mati gaya di hadapan mandor kurikulum dalam kendali payung sistem kredit semester. Dosa sosial kuasa administrasi pendidikan menyebabkan munculnya penyakit pendidikan. Yakni berupa aktivitas pendidikan dihadirkan tanpa adanya pendidikan itu sendiri.

Dampak pedagogisnya, dalam setiap penyelenggaraan proses tatap muka perkuliahan, para akademisi dan intelektual kampus, ditengarai menjadi sosok dosen power point yang kaku serta berjarak. Hal itu tampak nyata ketika mereka menyampaikan materi perkuliahan. Mereka menyusun bahan ajar dengan konsep ‘biasanya’ yang diajarkan dalam format copy paste dari tahun ke tahun. Artinya, bahan ajar yang disampaikannya jarang dilakukan proses modifikasi pembaruan berdasarkan realitas ilmiah kekinian.

Mereka tidak berani melakukan interpretasi atas tekanan administrasi pendidikan serta kuasa kurikulum yang kaku membatu agar menjadi bahan pengajaran yang ‘seksi’ dan merangsang keingintahuan mahasiswa. Mereka menyelenggarakan perkuliahan dalam konstruksi komunikasi monologis. Hal itu mereka lakukan guna memelihara zona aman saat menyampaikan materi perkuliahan.  

Penyeragaman pola berpikir

Realitas sosial pembonsaian serta dekonstruksi tugas berikut fungsi akademisi dan intelektual kampus menghasilkan buah yang sangat pahit rasanya. Artinya, hasil eksperiman atas keberadaan jagat pendidikan yang menghasilkan jejak peradaban pendidikan tanpa pendidikan. Hal itu cenderung menumbuhkan tembok dan dinding dingin dari sudut perspektif ilmu pengetahuan. Ujung ekstremnya, ia hadir terpisah dari kehidupan sehari-hari yang sejatinya hangat dan dinamis.

Dampak  format pendidikan di atas menyebabkan konsumen pendidikan harus masuk di dalam kotak. Sebuah ruangan berbentuk empat persegi panjang berisi deretan kursi  yang senantiasa meneriakkan ujaran perintah bersifat indoktrinatif. Sebuah proses yang melibatkan tangan birokrat penguasa pendidikan untuk menyeragamkan pola berpikir serta menyamakan perilaku para pihak yang ada di ruangan itu. Selain itu, di dalamnya dilengkapi pula dengan susunan selera tata rasa sang penguasa birokrat pendidikan. 

Ikhtiar penyeragaman pola berpikir seperti itu menyebabkan lembaga pendidikan tinggi tidak lagi direkatkan makna sebagai lembaga sosial. Ia tidak  lagi diposisikan sebagai sebuah institusi sosial yang menyandang amanah tugas sosial guna mencerdaskan dan memerdekakan peserta didik secara bertanggungjawab.

Para birokrat pendidikan mematok target outcome atau lulusan pendidikan tinggi harus dapat ditarik serta dimanfaatkan pihak industri untuk diposisikan sebagai buruh. Dengan demikian, lembaga pendidikan tinggi hanya diposisikan sebagai pabrik pendidikan yang harus menghasilkan produk tenaga kerja terampil.

Yang paling menyedihkan, lembaga pendidikan tinggi dipaksa menanggalkan karakter dan fitrahnya sebagai lembaga sosial. Sebuah aktivitas nirlaba yang memiliki garis perjuangan ideal untuk menyebarkan virus kebermanfaatan. Sebuah kegiatan pendidikan tinggi yang didedikasikan guna merangkai ilmu pengetahuan dalam jalinan nilai kemanusiaan yang berbudaya dan berkeadilan.

Setuju?

Sumbo Tinarbuko, Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta. Artikel ini dimuat di kolom Opini Harian Kompas, Kamis 20 Oktober 2021

Tentang sumbotinarbuko

Creative Advisor and Consultant of Institute Sumbo Indonesia, and Lecturer of Program Studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa and Sekolah Pascasarjana ISI Yogyakarta
Pos ini dipublikasikan di about me. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar