(Analisis KR) Intelektual Kampus

Dr Sumbo Tinarbuko

Intelektual kampus atau lebih populer dengan sebutan dosen. Belakangan ini, mereka mendapatkan amanah sekaligus tugas baru dalam konteks administrasi pendidikan. Selain wajib melaksanakan tugas negara yang dirangkum di dalam tridharma perguruan tinggi. Mereka harus menjalankan tugas baru terusan dari tridharma. Yakni caturdharma.

Apakah caturdharma perguruan tinggi itu? Dharma keempat berupa pelaporan data dan rekam jejak administrasi pendidikan. Dosen harus mengisi berbagai keterangan yang benar dan nyata terkait riwayat pribadi. Juga wajib menyantumkan rekam jejak sejarah kepegawaian sejak menjadi calon pegawai negeri.

Harus juga melampirkan dokumen yang mencatat dirinya diangkat sebagai pegawai negeri penuh. Hingga pangkat dan jabatan terakhir pada 2021. Sudah cukup? Belum! Dosen masih harus melaporkan sejarah pendidikan yang ditempuhnya sejak S1, S2, hingga S3. Lengkap dengan ijazah dan transkrip nilai. Sudah selesai? Belum! Dosen wajib menginformasikan secara jujur tentang status perkawinan dan keberadaan keluarga inti.

Selain itu mereka harus tertib melaporkan administrasi pendidikan lainnya. Seperti apa ujudnya? Berupa isian beban kerja dosen (BKD) pada setiap semester. Isian data BKD dan kepegawaian harus dicatatkan di dalam kolom dan lajur yang cukup rumit sistematikanya. Kementerian menyebutnya dengan sebutan MySAPK, IKU dan Sister.

Pada titik ini, muncul kesan, para birokrat pendidikan yang bernaung di kementerian negeri ini menaruh rasa tidak percaya atas reputasi serta kinerja dosen. Cara kerja dosen dan capaian kerja harus diukur secara kuantitatif dalam hitungan angka dan timbangan prosentase.

Kontrol negara atas kinerja dosen yang dimasukkan dalam kotak caturdharma ini, dinilai sangat membelenggu eksistensi dosen. Sebagai intelektual kampus yang bekerja secara merdeka dan bertanggung jawab. Mereka menjadi terpasung aktivitas akademiknya dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan yang egaliter.

Atas tekanan kuasa administrasi yang digariskan birokrat pendidikan di negeri ini. Mereka terpaksa memakai topeng layaknya administrator pendidikan. Meski sejatinya, hati mereka merintih. Perasaan mereka tidak nyaman dan nirbahagia. Tapi semuanya harus dijalankannya, agar gaji berikut uang tunjangan serdos dapat diterimanya secara utuh.

Paksaan sosial kuasa administrasi oleh birokrat pendidikan menyebabkan munculnya penyakit pendidikan. Yakni proses pendidikan dihadirkan tanpa adanya roh dari pendidikan itu sendiri. Ketika realitas sosial menebarkan fakta baru berkembangnya pendidikan tanpa kehadiran roh pendidikan. Hal itu ditengarai menjadi guncangan baru pada jagat pendidikan di Indonesia.

Ketika hidup dan kehidupan intelektual kampus diberangus kuasa administrasi dan operator digital yang menjadi kepanjangan tangan birokrat pendidikan. Dampak pedagogisnya atmosfer pendidikan yang mengajak partisipasi aktif unsur triadik pendidikan: dosen, mahasiswa dan tenaga pendidikan, menjadi tidak terkontrol sesuai peruntukannya. Ajaran untuk senantiasa menjalankan kegiatan belajar bersama dan bersama-sama belajar dalam praktik kehidupan yang senyatanya semakin luntur. Mahasiswa yang notabene generasi Z dan generasi Alpha menyikapi kegiatan belajar mengajar tidak dipandang sebagai proses mengembangkan diri. Capaian kegiatan belajar mengajar tidak lagi berujung pada penguasaan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan yang berkeadilan.

Bagi mereka, berkembangnya pendidikan tanpa adanya roh pendidikan adalah sesuatu yang membahagiakan. Mereka lebih suka berpikir instan dan pragmatis. Mereka lebih menggemari kemasan pikiran seragam. Mereka lebih senang bersiasat jangka pendek dengan menisbikan jalinan sebuah proses. Padahal sebuah proses – apapun bentuk dan pengejawantahannya – sejatinya adalah pilihan wajib yang harus dilakukan oleh siapapun dalam mengisi hidup dan kehidupan ini.

Pada akhirnya, mereka lebih senang belajar berhura-hura ketimbang belajar serta lelaku prihatin menuju penguasaan masa depan yang beradab dan bermartabat. Terhadap kenyataan sosial ini, mereka tidak dapat disalahkan ketika memilih jalan hidup seperti itu.

Atas bencana sosial semacam itu, bagaimana posisi intelektual kampus dapat menempatkan dirinya agar tercipta atmosfer pendidikan yang lebih kondusif? Pertanyaan berikutnya, dengan fenomena pendidikan tanpa kehadiran roh pendidikan akankah mampu memperkokoh aspek kebangsaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

Dr. Sumbo Tinarbuko, Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta. Artikel ini dimuat di kolom Analisis KR, harian Kedaulatan Rakyat, Senin Pon, 8 November 2021.

Tentang sumbotinarbuko

Creative Advisor and Consultant of Institute Sumbo Indonesia, and Lecturer of Program Studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa and Sekolah Pascasarjana ISI Yogyakarta
Pos ini dipublikasikan di about me. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar